Jakarta, Ngabarin.com — Kalau sejarah Indonesia itu diibaratkan serial drama, maka era pendudukan Jepang jelas masuk episode paling plot twist. Bayangin: negara asing datang ngusir Belanda, lalu ngajak ngobrol tokoh-tokoh nasionalis macam Sukarno. Yang bikin makin drama? Sukarno enggak langsung ngelawan. Malah kelihatan cukup “akrab” dengan para jenderal Jepang. Lah, kok bisa?
Oke, rewind dulu sedikit.
Sebelum Jepang muncul, Sukarno udah lama jadi “langganan buangan” Pemerintah Hindia Belanda. Setelah mampir di Ende, beliau ditaruh di Bengkulu. Di sana, kehidupan cukup adem. Ya, setidaknya buat ukuran orang yang diasingkan karena dianggap bahaya. Tapi semua berubah ketika Jepang datang ke Asia Tenggara.
Belanda panik. Kabar Jepang yang galak dan ekspansif bikin banyak pejabat kolonial angkat kaki ke Australia. Nah, Sukarno sempat diajak juga. Tapi… rencananya buyar karena kapal enggak muncul. Ujung-ujungnya, Sukarno malah “nyangkut” di Padang. Di sana, dia ngumpet dulu di rumah teman-temannya. Sementara itu, Jepang sudah mulai mendarat.
Dan ternyata, Jepang notice keberadaan Sukarno.
Kapten Sakaguchi dari Departemen Propaganda Jepang datang menyapa. Ada yang bilang, mereka ngobrol dengan sopan, penuh senyum. Sukarno pun dibawa ke Bukittinggi buat ketemu pejabat militer Jepang. Suasananya bukan kayak interogasi—lebih kayak pendekatan.
Dari sinilah hubungan unik itu dimulai.
Sukarno, yang biasanya lantang melawan kolonialisme, kali ini tampak… kooperatif. Apakah ini pengkhianatan? Atau cuma strategi?
Jawabannya nggak sesimpel itu.
Beberapa sejarawan bilang Sukarno sebenarnya under pressure. Ada ancaman halus (dan mungkin juga keras) kalau dia menolak kerja sama. Tapi Sukarno juga bukan tokoh yang gampang dibujuk. Dalam otobiografinya, dia sempat bilang kalau kerja sama ini bisa jadi peluang. Jepangnya keluarin duit, Indonesia dapat pelatihan dan pendidikan rakyat. Win-win? Belum tentu. Tapi cukup buat jadi batu loncatan.
Dalam prosesnya, Sukarno ikut berbagai proyek Jepang—mulai dari pidato-pidato radio, pelatihan rakyat, sampai mobilisasi massa. Iya, termasuk soal romusha yang jadi kontroversi. Tapi jangan buru-buru nge-judge. Situasinya waktu itu jauh dari hitam-putih. Banyak keputusan yang harus dibuat di tengah ancaman dan ketidakpastian.
Yang jelas, Sukarno tahu satu hal: Jepang enggak bakal lama. Perang dunia masih jalan, dan Jepang mulai kewalahan. Di situlah Sukarno melihat celah: gunakan Jepang untuk mempersiapkan bangsa sendiri. Kalau Jepang tumbang, Indonesia udah siap berdiri sendiri.
Apakah rencananya berjalan mulus? Nggak juga. Tapi hasil akhirnya? Indonesia merdeka di tahun 1945.
Jadi, Sukarno: Kawan Jepang atau Lawan Belanda?
Mungkin bukan dua-duanya.
Mungkin beliau hanya seorang tokoh yang ngerti kapan harus melawan, kapan harus berteman, dan kapan harus pura-pura akur demi sesuatu yang lebih besar: kemerdekaan.
Karena di tengah kekacauan dunia, strategi kadang lebih penting dari idealisme. Setidaknya, itu yang terjadi dalam babak sejarah yang satu ini.
Kalau hidupmu terasa rumit, coba bayangin jadi Sukarno di tahun 1942: dibuang, dikejar, dijemput musuh, terus diminta kerja sama. Nggak ada “jawaban benar” di situ—yang ada cuma keputusan dan konsekuensinya. (*)























