Ngabarin.com — Nama Gajah Mada melegenda sebagai Mahapatih paling kuat dari Kerajaan Majapahit. Ia diabadikan dalam sejarah Jawa sebagai sosok yang bersumpah menyatukan Nusantara, dengan kisah pamungkasnya diyakini moksa di Madakaripura. Tapi… tunggu dulu. Cerita dari tanah Aceh justru mengungkap versi yang jauh lebih dramatis—bahkan tragis.
Di ujung timur Aceh, sebuah cerita rakyat turun-temurun menyimpan bab terakhir hidup Gajah Mada. Alkisah, pasukan Majapahit dipimpin langsung oleh sang Patih menyerbu Kesultanan Pasai. Ambisinya: memperluas pengaruh Majapahit ke wilayah utara Sumatra.
Tapi rencana tinggal rencana. Pasai bukan kerajaan sembarangan. Tangguh, solid, dan penuh strategi. Pasukan Majapahit dipukul mundur, lalu mengungsi ke pedalaman dan membangun benteng di sebuah bukit yang kini dikenal sebagai Bukit Jawa.
Gajah Mada tak menyerah. Ia coba bangkit lagi. Dari Bukit Jawa, pasukannya melancarkan serangan kedua—dan kembali gagal. Strategi baru pun disusun: menjalin aliansi dengan Kerajaan Tamiang, sekutu Pasai, dengan satu jurus klasik: lamar sang putri!
Puteri Lindung Bulan, sang jelita dari Tamiang, jadi kunci. Gajah Mada melayangkan pinangan dan menawarkan perhiasan mewah. Sebagai pemanis, Tamiang dijanjikan kemerdekaan dari Pasai—asal mau bantu Majapahit.
Tapi apa balasan Tamiang? Sebuah jamuan epik… sekaligus penghinaan halus. Para utusan Majapahit disuguhi talam berisi permata dan disuruh “memakannya”. Lalu Raja Muda Sedia, perwakilan Pasai di Tamiang, menyatakan halus namun tajam:
Tamiang menolak. Kami kerajaan kecil yang menjunjung adat. Kami setia pada Pasai. Maaf, lamaran Anda kami tolak.
Gajah Mada murka. Armada Majapahit kembali bersiap, kali ini untuk menyerang Tamiang. Tapi Tamiang tak sendiri. Pasai turun tangan.
Di Sungai Iyu dan Kuala Besar, bentrok dahsyat terjadi. Meriam, pedang, dan kapal perang menghiasi pertempuran laut paling brutal di wilayah itu. Pasukan Majapahit kocar-kacir. Mereka lari ke laut, hingga akhirnya mendarat di pulau kecil dekat Teluk Haru.
Di sanalah, menurut cerita rakyat, Gajah Mada gugur di tangan panglima Tamiang legendaris, Hantom Mano.
Sisa pasukannya tercerai-berai. Banyak tewas, sebagian kecil mundur. Dalam bahasa lokal: mereka ulak. Tempat itu pun kemudian dikenal dengan nama Kuala Raja Ulak.
Sebuah Akhir yang Tak Pernah Diajarkan di Buku Sekolah
Cerita ini tak tercatat di banyak buku sejarah resmi, tapi hidup dalam memori rakyat Aceh. Sebuah narasi tandingan bahwa Gajah Mada, sang penakluk Nusantara, ternyata kalah telak di negeri keci, Tamiang. (*)























