Jakarta, Ngabarin.com — Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu momen paling gelap dalam sejarah Indonesia. Bukan cuma karena penjarahan dan pembakaran, tapi juga karena kekerasan terhadap perempuan — khususnya perempuan Tionghoa — yang sampai sekarang masih membekas dalam ingatan kolektif.
Dan FYI, Presiden B.J. Habibie, orang nomor satu Indonesia waktu itu, gak pernah bungkam soal ini. Justru dia terang-terangan mengecam kekerasan seksual dalam kerusuhan itu, bahkan secara resmi menyampaikan permintaan maaf.
🗣 “Perbuatan Biadab” — Habibie, 1998
Tanggal 15 Agustus 1998, dalam pidato kenegaraan pertamanya di depan DPR/MPR, Habibie gak cuma bahas ekonomi atau reformasi. Dia menyentuh soal pelanggaran HAM dan dengan jelas menyebutkan soal kekerasan seksual yang terjadi:
“Huru-hara berupa penjarahan… bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama dari kelompok etnis Tionghoa… kita mengutuk perbuatan biadab tersebut.”
Dalam pidato itu, Habibie juga bilang dia menyesali pelanggaran HAM dan bahkan minta maaf atas kejadian-kejadian tersebut. Pesan ini disampaikan langsung di depan rakyat — disiarkan secara live — dan juga diliput oleh media internasional seperti Associated Press dan The Strait Times.
The Strait Times bahkan menyebut momen ini sebagai “kebangkitan demokrasi” untuk Indonesia.
🎤 Tapi 2025, Kok Ada yang Bilang Cuma Rumor?
Fast forward ke Juni 2025, pernyataan kontroversial datang dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Dalam obrolan di YouTube bareng jurnalis Uni Lubis, Fadli mempertanyakan: “Beneran ada perkosaan massal? Kata siapa? Itu cerita. Mana buktinya?”
Kalimat ini langsung jadi topik hangat di media sosial. Banyak pihak geram dan menganggap pernyataan itu merendahkan pengalaman korban dan membantah catatan sejarah yang sudah berulang kali disuarakan, termasuk oleh Presiden sendiri saat itu.
Fadli akhirnya klarifikasi. Katanya, dia tidak menyangkal kejadian itu, cuma ingin menekankan pentingnya data yang “teruji secara hukum dan akademik”. Tapi tetap aja, publik merasa statement awalnya udah terlanjur menyakitkan.
📚 Sejarah Itu Bukan Cuma Soal Angka
Memang benar, dalam penulisan sejarah harus ada bukti. Tapi kekerasan seksual adalah jenis kejahatan yang sering banget gak tercatat rapi — karena korban takut, trauma, dan sistem kadang gak berpihak. Banyak peneliti, aktivis, dan saksi waktu itu sudah bicara, tapi keberanian mereka kadang diabaikan.
Dan, penting untuk diingat: Presiden Habibie sendiri sudah mengakui dan mengecam peristiwa ini di depan publik internasional.
Jadi, kalau sekarang ada yang menyebutnya “rumor”, itu gak cuma menyakitkan buat para korban, tapi juga nampol balik integritas sejarah bangsa sendiri.
✊ Yang Harus Diingat:
- Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 bukan dongeng.
- Sudah diakui di level tertinggi pemerintahan, termasuk oleh Habibie.
- Mengulang luka lama dengan menyebutnya “rumor” adalah bentuk penghinaan terhadap korban.
- Penulisan sejarah boleh akademis, tapi jangan sampai kehilangan empati.
Kalau kamu generasi muda yang baru dengar soal ini, mungkin ini waktunya buat cari tahu lebih dalam. Jangan biarkan sejarah hanya ditulis oleh mereka yang pilih-pilih memori.